07 November 2008

Ita itu….

NAMA perempuan ini Siti Nasyi’ah. Tetapi, ketika karirnya di dunia jurnalistik dimulai dari Jawa Pos tahun 1991, nama Siti Nasyi’ah ‘’disulap’’ menjadi Ita. Kok? Nama panggilan yang tiga huruf itu merupakan inisial dari karya jurnalistiknya. Nama inilah yang akhirnya lebih popular dari pemberian orang tuanya, Boegiyat SM dan Saropah.

Akibatnya, setiap ada yang mencari Ita ke rumah, sering kali pula Bapaknya mengatakan: ‘’Ita itu anaknya Dahlan Iskan. Tapi, kalau Nasyi’ah itu anak saya,’’ kata lelaki kelahiran Lorog, Pacitan setengah bergurau.



Selama berkair di Jawa Pos, beberapa kejuaraan karya tulis berhasil diraihnya. Dan, buku Haji Nunut yang diterbitkan oleh JPbook ini merupakan karya tunggal ke-duanya, setelah Mami Rose. Buku yang memuat lika-liku seorang anak manusia, yang ingin pergi haji tapi tak memiliki uang.

Sebelum akhirnya benar-benar menjadi wartawan di Jawa Pos, Ita, menjadi wartawan magang dari sekolahnya, Stikosa-AWS. Tahun 1992 dia baru berhasil di wisuda, padahal dia sudah tercatat aktif sebagai mahasiswa di tahun 1986. Saat reformasi, Ita di BKO dari Jawa Pos oleh Dahlan Iskan ke Suara Indonesia bersama 30 wartawan lainnya. Di harian yang sebelumnya ekonomi itu, Ita di tugaskan di bidang hukum. Merasa tak memiliki background hukum sama sekali, Ita lantas kembali masuk kampus. Bersama 18 wartawan berbagai media yang ngepos di Pengadilan Negeri Surabaya, Ita kuliah hukum di Universitas Wijaya Putra.

Kini, Ita yang masih aktif menjadi wartawan dipercaya memimpin majalah Kartini biro Jawa Timur. Sebuah majalah wanita yang berkantor pusat di Jakarta. Bersama anak semata wayangnya, Aisyah Lintang Maharani dan suaminya, Jusak Sunarjanto, wanita yang aktif berkegiatan sosial itu memilih tinggal di Surabaya.

Lanjutannya »»

04 November 2008

Bawa Dua Anak untuk Luluhkan Hati (4)

Terus terlilit beban setoran yang berat membuat Sumiarsih merancang pembunuhan terhadap Letkol Purwanto. Berikut penutup tulisan yang diambil dari buku Mami Rose yang ditulis ITA SITI NASYIAH.

MENGELOLA dua rumah bordil sekaligus, Happy Home dan Sumber Rejeki, nama Mami Rose cukup kondang di lokalisasi Gang Dolly. Kalau sedang mujur, semalam satu wisma bisa memberikan laba bersih Rp 2 juta. Di atas kertas, kalau bisnis berjalan normal, sebulan Sumiarsih dari dua wisma bisa mengumpulkan Rp 120 juta. Itu angka yang fantastik untuk ukuran usaha pada 1980-an.



Di kalangan pria hidung belang, wisma milik Mami Rose itu cukup atraktif. Wanita itu kerap mendatangkan penyanyi-penyanyi dangdut dengan pengiring musik live di malam hari. Dia juga mempekerjakan bartender khusus yang harus hafal minuman masing-masing pelanggan.

Namun, usaha prostitusi seperti itu tetaplah rentan. Gangguan yang sepele saja bisa mengganggu jalannya usaha. Padahal, khusus untuk Wisma Sumber Rejeki, hasil kongsi Mami Rose dengan Letkol Purwanto, dia punya kewajiban setor Rp 22 juta per bulan.

Suatu kali, dua wisma itu sepi selama seminggu. Itu terjadi karena ada operasi oleh Polres Surabaya Selatan terhadap laporan penculikan anak di bawah umur. Ada tengara, gadis berusia 12 tahun itu dijual di Gang Dolly. Setelah digerebek, anak itu ditemukan di sebuah wisma di sana. Akibatnya, transaksi seks di Gang Dolly menurun drastis.

''Piye yo, Pak, cara ngadepi Pak Pur. Mbok sampean toh sing mrono (Bagaimana Pak cara menghadapi Pak Purwanto. Bapak saja yang menghadap ke dia),'' kata Mami Rose kepada suaminya, Djais Adi Prayitno (Prayit). Mendengar keluhan itu, Prayit malah menasihati agar Sumiarsih sendiri yang menghadap. Siapa tahu, kalau wanita yang menghadap, hati Purwanto luluh.

Dengan diantar pakai mobil Suzuki Carry oleh anak tirinya (anak Prayit), Nano, dia berangkat ke rumah Purwanto di Jalan Dukuh Kupang Timur, Surabaya. Setelah Mami Roses menyampaikan permohonan keringanan akibat wisma yang sedang sepi itu, Purwanto menanggapi dengan tegas.

''Bah sepi. Bah rame. Nek awakmu nyetor telat, yo kudu mbungai. Titik! Wis, kono muliho. Ngganggu ae. (Biar sepi. Biar ramai. Kalau kamu setor terlambat, ya harus bayar bunga. Titik. Sudah, pulang sana. Mengganggu saja),'' jawab Purwanto.

Sumiarsih pulang dengan air mata menggenang. Mami Rose bersyukur Nano yang menunggu di luar tidak tahu bahwa di dalam tadi perwira marinir yang masih aktif itu memarahinya habis-habisan.

Pada kali lain, saat liburan Ramadan, Sumiarsih sedang bahagia karena kedua anaknya, Wati dan Sugeng, yang selama ini sekolah dan tinggal di rumah Jombang bersama nenek, liburan ke rumah keluarga Sumiarsih di Jalan Kupang Gunung Timur I/41, Surabaya.

Anak-anak Mami Rose itu pun diajak keliling kota seperti ke Toko Siola, Toko Nam, Taman Hiburan Rakyat (THR), dan kebun binatang. Namun, pada saat bersamaan, Mami Rose bingung karena usaha rumah bordilnya sedang sepi. Saat waktu membayar setoran tiba, uang yang tersedia hanya Rp 20 juta.

Saat mereka mau membayar setoran itu, anak-anak itu pun diajak ke rumah Purwanto. Harapan Sumiarsih, dengan mengajak anak-anak, kemarahan Purwanto bisa redam. ''Mugo-mugo ae Pak Pur gak ngamuk nek awak e dhewe teko bareng-bareng yo, Pak,'' kata Rose kepada Prayit sebelum mereka berangkat.

Kiat Mami Rose jitu. Melihat rombongan yang dikuti Wati dan Sugeng itu, Purwanto lebih lunak saat Mami Rose mau menyampaikan setoran yang hanya Rp 20 juta. ''Yo, wis, kurang piro. Gowoen ae disik nek ngono. Tapi, tolong, tanggal 15 kudu onok sak bungae lho yo (Ya, sudah, uangnya dibawa dulu. Tapi, tolong, tanggal 15 harus dibayar bersama bunganya),'' katanya.

Sambil berkata demikian, Purwanto tak henti-henti memandangi Wati. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Setelah itu, rombongan kecil itu meneruskan perjalanan menuju THR di Jalan Kusuma Bangsa.

Besok malamnya, sekitar pukul 20.30, Purwanto mengenakan jaket doreng berkunjung ke Wisma Sumber Rejeki, bersama tiga anak buahnya. Dia duduk di tengah para PSK yang sedang mejeng di ruang tamu atau akrab dikenal sebagai ''akuarium''. Dia minum sampai mabuk.

Pukul 23.30, Rose mendapati Purwanto keluar kamar. Dari mulutnya menyembur aroma alkohol. ''Sugeng dalu, Pak (Selamat malam, Pak),'' sapa Mami Rose berbasa-basi. ''He'eh,'' jawab Pur. Pur lalu bertanya soal setoran yang diantarkan kemarin.

''Seperti yang saya sampaikan kemarin, masih ada Rp 20 juta. Kurang Rp 5 juta. Tapi, malam ini tadi ada pemasukan Rp 1 juta,'' kata Mami Rose. Purwanto mendengarkan sambil berbaring di tempat tidur.

Sumiarsih melirik Purwanto yang berada tidak jauh dari tempat duduknya. Heran, kali ini bapak tiga anak itu terlihat lebih sabar. Saat Purwanto mengelurkan sebatang rokok, wanita itu pun membantu menyulut dari korek api miliknya. ''Ora usah kok pikirke kekuranganne, Rose. Tapi, anakmu Wati kekno aku (Tidak usah kamu pikirakan kekurangannya. Tapi, anakmu Wati kasihkan aku),'' katanya enteng.

Mendengar itu, tubuh Rose gemetar. Kakinya mendadak lemes. Seorang bodyguard wisma Sumber Rejeki, Bambang, yang kebetulan melintas heran mengetahui bosnya memegangi kepala. ''Ada apa, Mi, kok pucat,'' tanya Bambang. Tanpa diminta, pria bertubuh kekar itu membopong Mami Rose ke kamar nomor 6 yang malam itu tidak dipakai pelanggan.

(Sejak peristiwa itu, Sumiarsih mengaku terus berusaha menyelamatkan Wati yang berwajah ayu dari Purwanto. Pada 1986, Wati menikah dengan Serda (Brigadir Polisi Dua) Adi Saputro. Namun, Purwanto tak berhenti mengejar Wati. Faktor itulah yang menyebabkan Adi Saputro sangat sakit hati).

Delapan tahun lebih kongsi Purwanto-Sumiarsih di Wisma Sumber Rejeki itu adalah saat-saat yang berat bagi Sumiarsih. Wanita itu sering defisit karena Purwanto selalu meminta setoran tetap dengan nilai yang terus naik tiap tahun. Bahkan, keterlambatan pembayaran pun dikenai penalti bunga.

Puncak kesulitan itu terjadi pada Agustus 1988. Saat itu, setoran bulanan sudah menjadi Rp 30 juta. Angka itu belum memperhitungkan bunga karena sudah melebih tanggal 1. Purwanto memberikan deadline tanggal 15. Sumiarsih tidak kuat lagi. Suatu hari Sumiarsih mengungkapkan rencana jahat kepada Prayit: membunuh Purwanto.

Semula Prayit tidak setuju. Tapi, setelah dimintai pendapatnya langkah apa yang tepat untuk menghindari teror Purwanto, Prayit tak punya pilihan. Lelaki itu pasrah dan menyetujui ide Sumiarsih. Malam itu pula, pukul 19.30 WIB, Mami Rose lantas memanggil kemenakan Prayit, Daim, di meja bartender. Lelaki muda itu dipekerjakan di wisma sebagai pengawas keuangan.

Setelah berada di dalam kamar, Rose meminta tolong agar Daim ikut membantu membunuh Purwanto. ''Kowe lak ya, lara ati ta, Im (Kamu juga sakit hati kan, Im). Yok apa nek (Bagaimana kalau) Pak Pur kita bunuh saja bersama-sama,'' pinta Rose kepada Daim di dalam kamar. Daim sepakat dengan usul Sumiarsih. Sebab, Daim sendiri mengaku beberapa kali dipopor pistol hingga berdarah-darah.

Namun, sebelum keluar kamar, Prayit kepada Daim mengatakan agar minta bantuan Nano, anak Prayit dari istri terdahulu, yang tinggal di Putat Jaya Tembusan, Surabaya. ''Jangan bertindak sendiri-sendiri, tunggu perintah kita selanjutnya, ya,'' kata Prayit lagi. Daim manggut-manggut tanda mengerti.

Pada 12 Agustus 1988, bertempat di Jalan Kupang Gunung Timur I/2B, Surabaya, rumah Sumiarsih yang lain, mereka berkumpul menyusun strategi pembunuhan. Saat rapat itu, Rose juga memanggil menantunya, Adi Prayitno, yang sedang berada di Surabaya karena urusan dinas. Rapat kecil itu menyepakati menghabisi Purwanto dengan dipukul alu besi.

''Hati-hati, lho. Pak Pur itu tentara. Kuat. Jadi, harus membawa senjata sendiri-sendiri. Kita keroyok ramai-ramai. Kalau tidak, kita yang mati. Dia punya pistol dan juga bisa karate,'' kata Prayit.

Tak seperti yang ditakutkan Prayit. Saat eksekusi pembunuhan terhadap Purwanto (dan empat anggota keluarga yang lain) dilaksanakan di rumah Purwanto, siang hingga sore pada 13 Agustus 1988, hampir tidak ada perlawanan berarti. Para korban, termasuk yang tak berkaitan dengan kongsi rumah bordil, seperti istri dan anak-anak Purwanto, mereka bunuh dengan cara yang sadis.

Wati sendiri tidak menyangka bahwa sang ibu yang dianggap sebagai otak pembunuhan itu berbuat demikian nekat. Sejak Sumiarsih dan kakaknya, Sugeng, dieksekusi mati menyusul suaminya (Adi Saputro) yang terlebih dahulu menghadapi regu tembak, Wati kini hidup sebatang kara. ''Saya tidak mengira ibu tega berbuat itu. Sebab, yang saya tahu, ibu itu berhati lembut,'' katanya. (habis)

Lanjutannya »»

Terjebak Kongsi Wisma Bordil di Gang Dolly (3)

Setelah sukses mengembangkan "karir" dan memupuk modal di Jakarta, Sumiarsih memutuskan pulang ke kampung halaman. Bersama suami baru, dia lalu membuka bisnis esek-esek di Surabaya. Berikut penuturan langsung wanita itu kepada ITA SITI NASYIAH.

Dengan uang yang rutin aku kirim dari Jakarta, rumah kami di desa yang dulu dari gedheg (anyaman bambu) dibangun dengan batu bata. Bahkan, rumah kami sudah jadi rumah gedong menyamai rumah Pak Lurah. Sugeng juga sudah bisa bersepeda. Empat adikku semuanya sudah mengenakan perhiasan di leher, jari, maupun tangan.
Pergaulan high class-ku (sebagai hostes) di Jakarta berimbas pada kehidupan pribadiku. Aku jadi emoh tinggal di desa terpencil, seperti Ploso. Agar terlihat seperti orang kota, aku pun membeli rumah di kota Jombang. Tepatnya di Jalan Gajah Mada. Ini kulakukan agar adik-adikku tidak terlalu jauh jika pergi sekolah. Maklumlah, saat itu sekolah yang bagus hanya ada di kota kabupaten. Aku ingin adik-adik dan anakku bisa menikmati fasilitas terbaik.

Kepindahan kami ke kota seperti kampanye. Yang mengiring ratusan. Saking banyaknya yang ikut, untuk mengangkut mereka, orang tuaku menyewa truk.

Manisnya Jakarta terus kureguk. Ibarat minum air laut, aku selalu kehausan, demikian juga dengan diriku. Kian hari kian ketagihan. Aku lupa daratan. Norma-norma agama sudah kulanggar semua. Aku juga sudah terbiasa hidup tanpa ikatan.

Penghasilanku makin besar jika aku di-BL (booking luar). Saat itu, rasanya, uang itu tidak ada artinya. Sambil menimang uang gebokan, pikiran jelekku keluar. ''Kenapa tidak dulu-dulu seperti ini,'' ucapku dalam hati. Hotel Indonesia -saat itu paling besar dan paling terkenal- jadi tempatku mangkal sehari-hari.

Aku pernah ikut (di-BL) kunjungan kerja seorang menteri ke Batam selama seminggu. Pulangnya, uang yang diberikan bisa kupakai beli mobil (Suzuki) Carry baru. Ya, hitung sendiri deh, berapa kira-kira.

Dampak lain dari profesiku itu, aku juga sudah keliling Indonesia. Apalagi jika bukan mengikuti ''kunjungan'' para pejabat. Ya, itung-itung, sambil kerja, aku juga bisa piknik gratis, gitulah.

Saat ke Jakarta dan bekerja sebagai hostes, awalnya aku sudah bertekad tidak jatuh cinta kepada lelaki mana pun. Namun, Hasan Winarya, seorang pria beristri dan beranak, berhasil mencuri perhatianku. Ketelatenan dan kelembutan pria keturunan China Lampung itu menjadikan hatiku terlena. Aku benar-benar mabuk oleh perhatiannya. Mungkin, perasaan itu tumbuh lantaran di Jakarta aku hidup sendiri.

(Dari Hasan Winarya, seorang pengusaha kontraktor ibu kota saat itu, Sumiarsih mendapat hadiah rumah di kawasan Senayan, Jakarta. Dari hasil hubungan itu, lahir Rose Mey Wati, perempuan, anak kedua, yang saat berusia empat bulan dititipkan ke neneknya di Jombang).

***

Karena tak kunjung dinikahi dan terus didamprat dan iba dengan istri dan anak-anak Hasan Winarya, Sumiarsih lalu memutus hubungan dengan Hasan. Dia lalu memutuskan kembali ke Jombang.

Di sisi lain, kembalinya Rose alias Sumiarsih ke Jombang menjadikan buah bibir tersendiri di kampung halamannya. Tak sedikit lelaki yang coba-coba mendekatinya. Maklum, Rose memang cantik. Di antara lelaki yang tertarik kepada Rose adalah Djais Adi Prayitno. Duda dua anak tersebut terang-terangan mengatakan ingin mempersunting dia.

''Nganpunten (maf) lho, Mas. Saya tidak ingin pacaran lagi. Malu. Sudah tua. Saya mencari calon suami,'' kata Rose kepada Prayit ketika lelaki itu menyampaikan isi hatinya.

Sebaliknya, lelaki berkaca mata itu gembira dengan ketegasan Rose. ''Kalau Jeng Sih mau mencari suami, saya siap menikah. Kapan pun diminta,'' ujarnya menimpali kalimat Rose.

Rose mengatakan sebetulnya masih mencintai Hasan Winarya, ayah Wati. Namun, Sumiarsih melihat Prayit sabar dan bertanggung jawab. Sadar bahwa dia butuh pendamping untuk menata hidupnya ke depan, Rose pun menerima pinangan Prayit -panggilan akrab Djais Adi Prayitno- untuk menikah.

Sumiarsih memang tak punya keahlian selain pengalamannya menjadi hostes dan mengelola salon plus (beberapa kapsternya juga wanita panggilan) di Kebayoran Baru, Jakarta. Karena itu, setelah menikah dengan Prayit, keduanya memutuskan membuka binis esek-esek. Pilihannya jatuh ke Dolly, kawasan pelacuran terkenal di Surabaya.

Launching rumah bordil dua lantai Happy Home (HH) dilakukan pada awal 1975. Rumah berukuran 8 x 15 meter itu diharapkan jadi tumpuan hidup keluarga. Letaknya di gang Dolly bernomor 2B. Pada awal pembukaan HH, Mami Rose -panggilan akrabnya di Dolly, hanya menampung sepuluh orang pekerja seks komersial (PSK). Tapi, yang membuat wisma HH jadi harum karena PSK di sana masih sangat belia dan cantik-cantik. Usianya berkisar 15 tahun.

Para PSK itu direkrut secara terang-terangan. Becermin dari pengalaman hidup Sumiarsih, para remaja itu berasal dari kalangan tidak mampu. Mereka ini adalah korban perdagangan wanita. ''Kowe gelem gak melu ngladeni tamu nang omahku Suroboyo. Tugasnya ngancani ngombe. Tapi, nek tamu ngajak turu, kowe yo kudu gelem. (Kamu mau ikut menemani tamu di rumahku Surabaya? Tugasmu menemani minum. Tapi, kalau tamu minta dilayani tidur, kamu harus mau),'' ujar Mami Rose Sumiarsih kepada para calon PSK saat wawancara. Karena terdesak faktor ekonomi, rata-rata gadis yang datang kepada Rose bersedia secara suka rela.

Para PSK yang dikaryakan kebanyakan janda muda dengan berbagai problem. Ada yang ditinggal kawin suami, ada yang suami pengangguran, dan tidak sedikit wanita yang punya anak tanpa bapak. Tarif short time PSK di HH Rp 25 ribu. Dari jumlah itu, Mami Rose dapat 70 persen.

Berbeda dengan para mucikari lain, setoran yang 70 persen itu diolah lagi oleh Mami Rose. Sebesar 50 persen masuk kantong pribadi, 10 persen biaya makan dan minum PSK, dan 10 persen untuk biaya kursus. Untuk yang terakhir itu, PSK biasanya sekolah modes di daerah Pasar Kembang yang tak jauh dari Gang Dolly.

''Kalian-kalian tidak boleh selamanya jadi balon (PSK). Di sini kamu semua harus mentas setelah tabunganmu cukup,'' kata Rose saat membrifing anak buahnya sebelum diterjunkan ke lembah hitam.

Selain tamu dari kalangan biasa,Wisma HH kerap didatangi lelaki dari kalangan tentara. Salah seorang di antara lelaki itu tidak lain adalah Letkol Marinir Purwanto. Bapak tiga anak itu punya jabatan prestisius: kepala Primer Koperasi Angkatan Laut (Primkopal) di Pangkalan Angkatan Laut, Ujung, Surabaya. Seperti pengunjung yang lain, Purwanto kerap bersenang-senang dengan anak buah Sumiarsih.

Yang membuat Mami Rose girang, kehadiran Purwanto dianggap sebagai ''pelindung''. Maklumlah, dunia hitam seperti itu rentan berbagai kejahatan dan keributan.

Suatu hari, saat menyambangi Wisma HH, Purwanto mengajak omong-omong serius Mami Rose. ''Mi, kalau aku buka usaha (membuka rumah bordil di Dolly) seperti punyamu, apa masih laku ya,'' kata Purwanto seperti ditirukan Sumiarsih.

Pucuk dicita ulam tiba. Tawaran ini bersambut. Mami Rose mengakui ''penghuni'' HH sudah overload. Sebelumnya, Rose berpikir ingin melebarkan sayap. Namun, untuk memperluas bangunan, tidak mungkin karena tanahnya terbatas. Mau membeli rumah baru, uangnya juga belum mencukupi. ''Kebetulan sekali, kalau Pak Pur mau bikin di sini,'' kata Rose terus terang.

Berkat kongsi usaha dengan Puwanto itu, tepat pada ulang tahun kelima Wisma HH (1980), Mami Rose membuka "cabang" kedua. Kebetulan, ada wisma yang dijual pemiliknya karena bangkrut. Rumah itu bernomor 1A atau berjarak dua rumah dari Wisma HH. Oleh Mami Rose, rumah bordir baru itu diberi-nama Wisma Sumber Rejeki (SR).

Usai merayakan peresmian SR, Mami Rose, Prayit, dan Purwato -yang menjadi pengelola dan "pemegang saham"- terlibat diskusi serius. Yakni, mematangkan sistem bagi hasil usaha barunya. ''Sebagai pemilik, aku minta kamu setor Rp 25 juta per bulan. Tidak boleh telat. Gimana, Mi,'' kenang Rose tentang kalimat Purwanto.

Sejenak berpikir, Mami Rose, yang kala itu mengenakan rok terusan warna hitam bunga-bunga merah, mencoba menawar. ''Ya, jangan segitu toh, Pak Pur. Ini kan usaha baru. Anak-anaknya juga belum banyak. Kita juga belum tahu sambutan pasar,'' kata Mami Rose coba berdalih.

Setelah melalui perdebatan sengit, mereka bertiga sepakat setor Rp 22 juta per bulan. Setiap tahun, setoran selalu meningkat Rp 1 juta per bulan. Setiap keterlambatan Purwanto -yang sudah terbiasa mengelola usaha di koperasi itu- mengenakan denda. ''Nggih, Pak. Menawi ngaten, tiap tanggal 1 kita akan kirimkan uangnya ke Bapak,'' kata Rose.

Banyaknya anak buah (PSK) yang diasuh menjadikan masalah bagi Mami Rose. Terutama masalah keuangan. Ada yang pinjam uang untuk biaya anak sakit, sekolah, modal untuk tanam padi desa, dan sebagainya. Jika tidak punya uang, Sumiarsih pinjam kepada teman kongsinya, Purwanto. Lambat laun, utang Rose semakin berbukit. Apalagi, semua tidak sekadar pinjam, tapi ada bunganya. Belum lagi jika terlambat membayar jatah setoran bulanan. "Ada denda 10-20 persen," ujar Rose.

Suatu hari, Rose pernah menyetor uang bagian Purwanto hingga Rp 40 juta. Padahal, sesuai perjanjian, bagian Purwanto hanya Rp 25 juta. Sisa yang Rp 15 juta itu merupakan bunga keterlambatan dan cicilan utang. ''Pak Pur, mbok kalau bisa, saya diberi keringanan. Banyak anak-anak yang belum bisa bayar utang ke saya. Jadi, saya yang harus nomboki dulu,'' kata Rose coba menawar. Bukan kata-kata halus yang didapat. Wanita yang telah ikut membesarkan SR tersebut malah dibentak dengan gebrakan meja. ''Gak iso. Iku harga mati. Koen lak wis janji. Ojok main-main karo aku lho, yo,'' kata Pur.

Bukan itu saja. Purwanto juga kerap menakut-nakuti dengan pistol jika Rose dan Prayit sedikit mengulur setoran. Alasan perwira TNI-AL tersebut bermacam-macam. Satu di antaranya adalah Rose telah mempekerjakan PSK di bawah umur. Pelanggaran seperti itu, jika diketahui polisi, bisa membawa Sumiarsih ke penjara. Lelaki yang dulu dianggap backing usahanya kini menjadi musuh dalam selimut.

Lanjutannya »»