04 November 2008

Terjebak Kongsi Wisma Bordil di Gang Dolly (3)

Setelah sukses mengembangkan "karir" dan memupuk modal di Jakarta, Sumiarsih memutuskan pulang ke kampung halaman. Bersama suami baru, dia lalu membuka bisnis esek-esek di Surabaya. Berikut penuturan langsung wanita itu kepada ITA SITI NASYIAH.

Dengan uang yang rutin aku kirim dari Jakarta, rumah kami di desa yang dulu dari gedheg (anyaman bambu) dibangun dengan batu bata. Bahkan, rumah kami sudah jadi rumah gedong menyamai rumah Pak Lurah. Sugeng juga sudah bisa bersepeda. Empat adikku semuanya sudah mengenakan perhiasan di leher, jari, maupun tangan.
Pergaulan high class-ku (sebagai hostes) di Jakarta berimbas pada kehidupan pribadiku. Aku jadi emoh tinggal di desa terpencil, seperti Ploso. Agar terlihat seperti orang kota, aku pun membeli rumah di kota Jombang. Tepatnya di Jalan Gajah Mada. Ini kulakukan agar adik-adikku tidak terlalu jauh jika pergi sekolah. Maklumlah, saat itu sekolah yang bagus hanya ada di kota kabupaten. Aku ingin adik-adik dan anakku bisa menikmati fasilitas terbaik.

Kepindahan kami ke kota seperti kampanye. Yang mengiring ratusan. Saking banyaknya yang ikut, untuk mengangkut mereka, orang tuaku menyewa truk.

Manisnya Jakarta terus kureguk. Ibarat minum air laut, aku selalu kehausan, demikian juga dengan diriku. Kian hari kian ketagihan. Aku lupa daratan. Norma-norma agama sudah kulanggar semua. Aku juga sudah terbiasa hidup tanpa ikatan.

Penghasilanku makin besar jika aku di-BL (booking luar). Saat itu, rasanya, uang itu tidak ada artinya. Sambil menimang uang gebokan, pikiran jelekku keluar. ''Kenapa tidak dulu-dulu seperti ini,'' ucapku dalam hati. Hotel Indonesia -saat itu paling besar dan paling terkenal- jadi tempatku mangkal sehari-hari.

Aku pernah ikut (di-BL) kunjungan kerja seorang menteri ke Batam selama seminggu. Pulangnya, uang yang diberikan bisa kupakai beli mobil (Suzuki) Carry baru. Ya, hitung sendiri deh, berapa kira-kira.

Dampak lain dari profesiku itu, aku juga sudah keliling Indonesia. Apalagi jika bukan mengikuti ''kunjungan'' para pejabat. Ya, itung-itung, sambil kerja, aku juga bisa piknik gratis, gitulah.

Saat ke Jakarta dan bekerja sebagai hostes, awalnya aku sudah bertekad tidak jatuh cinta kepada lelaki mana pun. Namun, Hasan Winarya, seorang pria beristri dan beranak, berhasil mencuri perhatianku. Ketelatenan dan kelembutan pria keturunan China Lampung itu menjadikan hatiku terlena. Aku benar-benar mabuk oleh perhatiannya. Mungkin, perasaan itu tumbuh lantaran di Jakarta aku hidup sendiri.

(Dari Hasan Winarya, seorang pengusaha kontraktor ibu kota saat itu, Sumiarsih mendapat hadiah rumah di kawasan Senayan, Jakarta. Dari hasil hubungan itu, lahir Rose Mey Wati, perempuan, anak kedua, yang saat berusia empat bulan dititipkan ke neneknya di Jombang).

***

Karena tak kunjung dinikahi dan terus didamprat dan iba dengan istri dan anak-anak Hasan Winarya, Sumiarsih lalu memutus hubungan dengan Hasan. Dia lalu memutuskan kembali ke Jombang.

Di sisi lain, kembalinya Rose alias Sumiarsih ke Jombang menjadikan buah bibir tersendiri di kampung halamannya. Tak sedikit lelaki yang coba-coba mendekatinya. Maklum, Rose memang cantik. Di antara lelaki yang tertarik kepada Rose adalah Djais Adi Prayitno. Duda dua anak tersebut terang-terangan mengatakan ingin mempersunting dia.

''Nganpunten (maf) lho, Mas. Saya tidak ingin pacaran lagi. Malu. Sudah tua. Saya mencari calon suami,'' kata Rose kepada Prayit ketika lelaki itu menyampaikan isi hatinya.

Sebaliknya, lelaki berkaca mata itu gembira dengan ketegasan Rose. ''Kalau Jeng Sih mau mencari suami, saya siap menikah. Kapan pun diminta,'' ujarnya menimpali kalimat Rose.

Rose mengatakan sebetulnya masih mencintai Hasan Winarya, ayah Wati. Namun, Sumiarsih melihat Prayit sabar dan bertanggung jawab. Sadar bahwa dia butuh pendamping untuk menata hidupnya ke depan, Rose pun menerima pinangan Prayit -panggilan akrab Djais Adi Prayitno- untuk menikah.

Sumiarsih memang tak punya keahlian selain pengalamannya menjadi hostes dan mengelola salon plus (beberapa kapsternya juga wanita panggilan) di Kebayoran Baru, Jakarta. Karena itu, setelah menikah dengan Prayit, keduanya memutuskan membuka binis esek-esek. Pilihannya jatuh ke Dolly, kawasan pelacuran terkenal di Surabaya.

Launching rumah bordil dua lantai Happy Home (HH) dilakukan pada awal 1975. Rumah berukuran 8 x 15 meter itu diharapkan jadi tumpuan hidup keluarga. Letaknya di gang Dolly bernomor 2B. Pada awal pembukaan HH, Mami Rose -panggilan akrabnya di Dolly, hanya menampung sepuluh orang pekerja seks komersial (PSK). Tapi, yang membuat wisma HH jadi harum karena PSK di sana masih sangat belia dan cantik-cantik. Usianya berkisar 15 tahun.

Para PSK itu direkrut secara terang-terangan. Becermin dari pengalaman hidup Sumiarsih, para remaja itu berasal dari kalangan tidak mampu. Mereka ini adalah korban perdagangan wanita. ''Kowe gelem gak melu ngladeni tamu nang omahku Suroboyo. Tugasnya ngancani ngombe. Tapi, nek tamu ngajak turu, kowe yo kudu gelem. (Kamu mau ikut menemani tamu di rumahku Surabaya? Tugasmu menemani minum. Tapi, kalau tamu minta dilayani tidur, kamu harus mau),'' ujar Mami Rose Sumiarsih kepada para calon PSK saat wawancara. Karena terdesak faktor ekonomi, rata-rata gadis yang datang kepada Rose bersedia secara suka rela.

Para PSK yang dikaryakan kebanyakan janda muda dengan berbagai problem. Ada yang ditinggal kawin suami, ada yang suami pengangguran, dan tidak sedikit wanita yang punya anak tanpa bapak. Tarif short time PSK di HH Rp 25 ribu. Dari jumlah itu, Mami Rose dapat 70 persen.

Berbeda dengan para mucikari lain, setoran yang 70 persen itu diolah lagi oleh Mami Rose. Sebesar 50 persen masuk kantong pribadi, 10 persen biaya makan dan minum PSK, dan 10 persen untuk biaya kursus. Untuk yang terakhir itu, PSK biasanya sekolah modes di daerah Pasar Kembang yang tak jauh dari Gang Dolly.

''Kalian-kalian tidak boleh selamanya jadi balon (PSK). Di sini kamu semua harus mentas setelah tabunganmu cukup,'' kata Rose saat membrifing anak buahnya sebelum diterjunkan ke lembah hitam.

Selain tamu dari kalangan biasa,Wisma HH kerap didatangi lelaki dari kalangan tentara. Salah seorang di antara lelaki itu tidak lain adalah Letkol Marinir Purwanto. Bapak tiga anak itu punya jabatan prestisius: kepala Primer Koperasi Angkatan Laut (Primkopal) di Pangkalan Angkatan Laut, Ujung, Surabaya. Seperti pengunjung yang lain, Purwanto kerap bersenang-senang dengan anak buah Sumiarsih.

Yang membuat Mami Rose girang, kehadiran Purwanto dianggap sebagai ''pelindung''. Maklumlah, dunia hitam seperti itu rentan berbagai kejahatan dan keributan.

Suatu hari, saat menyambangi Wisma HH, Purwanto mengajak omong-omong serius Mami Rose. ''Mi, kalau aku buka usaha (membuka rumah bordil di Dolly) seperti punyamu, apa masih laku ya,'' kata Purwanto seperti ditirukan Sumiarsih.

Pucuk dicita ulam tiba. Tawaran ini bersambut. Mami Rose mengakui ''penghuni'' HH sudah overload. Sebelumnya, Rose berpikir ingin melebarkan sayap. Namun, untuk memperluas bangunan, tidak mungkin karena tanahnya terbatas. Mau membeli rumah baru, uangnya juga belum mencukupi. ''Kebetulan sekali, kalau Pak Pur mau bikin di sini,'' kata Rose terus terang.

Berkat kongsi usaha dengan Puwanto itu, tepat pada ulang tahun kelima Wisma HH (1980), Mami Rose membuka "cabang" kedua. Kebetulan, ada wisma yang dijual pemiliknya karena bangkrut. Rumah itu bernomor 1A atau berjarak dua rumah dari Wisma HH. Oleh Mami Rose, rumah bordir baru itu diberi-nama Wisma Sumber Rejeki (SR).

Usai merayakan peresmian SR, Mami Rose, Prayit, dan Purwato -yang menjadi pengelola dan "pemegang saham"- terlibat diskusi serius. Yakni, mematangkan sistem bagi hasil usaha barunya. ''Sebagai pemilik, aku minta kamu setor Rp 25 juta per bulan. Tidak boleh telat. Gimana, Mi,'' kenang Rose tentang kalimat Purwanto.

Sejenak berpikir, Mami Rose, yang kala itu mengenakan rok terusan warna hitam bunga-bunga merah, mencoba menawar. ''Ya, jangan segitu toh, Pak Pur. Ini kan usaha baru. Anak-anaknya juga belum banyak. Kita juga belum tahu sambutan pasar,'' kata Mami Rose coba berdalih.

Setelah melalui perdebatan sengit, mereka bertiga sepakat setor Rp 22 juta per bulan. Setiap tahun, setoran selalu meningkat Rp 1 juta per bulan. Setiap keterlambatan Purwanto -yang sudah terbiasa mengelola usaha di koperasi itu- mengenakan denda. ''Nggih, Pak. Menawi ngaten, tiap tanggal 1 kita akan kirimkan uangnya ke Bapak,'' kata Rose.

Banyaknya anak buah (PSK) yang diasuh menjadikan masalah bagi Mami Rose. Terutama masalah keuangan. Ada yang pinjam uang untuk biaya anak sakit, sekolah, modal untuk tanam padi desa, dan sebagainya. Jika tidak punya uang, Sumiarsih pinjam kepada teman kongsinya, Purwanto. Lambat laun, utang Rose semakin berbukit. Apalagi, semua tidak sekadar pinjam, tapi ada bunganya. Belum lagi jika terlambat membayar jatah setoran bulanan. "Ada denda 10-20 persen," ujar Rose.

Suatu hari, Rose pernah menyetor uang bagian Purwanto hingga Rp 40 juta. Padahal, sesuai perjanjian, bagian Purwanto hanya Rp 25 juta. Sisa yang Rp 15 juta itu merupakan bunga keterlambatan dan cicilan utang. ''Pak Pur, mbok kalau bisa, saya diberi keringanan. Banyak anak-anak yang belum bisa bayar utang ke saya. Jadi, saya yang harus nomboki dulu,'' kata Rose coba menawar. Bukan kata-kata halus yang didapat. Wanita yang telah ikut membesarkan SR tersebut malah dibentak dengan gebrakan meja. ''Gak iso. Iku harga mati. Koen lak wis janji. Ojok main-main karo aku lho, yo,'' kata Pur.

Bukan itu saja. Purwanto juga kerap menakut-nakuti dengan pistol jika Rose dan Prayit sedikit mengulur setoran. Alasan perwira TNI-AL tersebut bermacam-macam. Satu di antaranya adalah Rose telah mempekerjakan PSK di bawah umur. Pelanggaran seperti itu, jika diketahui polisi, bisa membawa Sumiarsih ke penjara. Lelaki yang dulu dianggap backing usahanya kini menjadi musuh dalam selimut.

0 comments: