04 November 2008

Bawa Dua Anak untuk Luluhkan Hati (4)

Terus terlilit beban setoran yang berat membuat Sumiarsih merancang pembunuhan terhadap Letkol Purwanto. Berikut penutup tulisan yang diambil dari buku Mami Rose yang ditulis ITA SITI NASYIAH.

MENGELOLA dua rumah bordil sekaligus, Happy Home dan Sumber Rejeki, nama Mami Rose cukup kondang di lokalisasi Gang Dolly. Kalau sedang mujur, semalam satu wisma bisa memberikan laba bersih Rp 2 juta. Di atas kertas, kalau bisnis berjalan normal, sebulan Sumiarsih dari dua wisma bisa mengumpulkan Rp 120 juta. Itu angka yang fantastik untuk ukuran usaha pada 1980-an.



Di kalangan pria hidung belang, wisma milik Mami Rose itu cukup atraktif. Wanita itu kerap mendatangkan penyanyi-penyanyi dangdut dengan pengiring musik live di malam hari. Dia juga mempekerjakan bartender khusus yang harus hafal minuman masing-masing pelanggan.

Namun, usaha prostitusi seperti itu tetaplah rentan. Gangguan yang sepele saja bisa mengganggu jalannya usaha. Padahal, khusus untuk Wisma Sumber Rejeki, hasil kongsi Mami Rose dengan Letkol Purwanto, dia punya kewajiban setor Rp 22 juta per bulan.

Suatu kali, dua wisma itu sepi selama seminggu. Itu terjadi karena ada operasi oleh Polres Surabaya Selatan terhadap laporan penculikan anak di bawah umur. Ada tengara, gadis berusia 12 tahun itu dijual di Gang Dolly. Setelah digerebek, anak itu ditemukan di sebuah wisma di sana. Akibatnya, transaksi seks di Gang Dolly menurun drastis.

''Piye yo, Pak, cara ngadepi Pak Pur. Mbok sampean toh sing mrono (Bagaimana Pak cara menghadapi Pak Purwanto. Bapak saja yang menghadap ke dia),'' kata Mami Rose kepada suaminya, Djais Adi Prayitno (Prayit). Mendengar keluhan itu, Prayit malah menasihati agar Sumiarsih sendiri yang menghadap. Siapa tahu, kalau wanita yang menghadap, hati Purwanto luluh.

Dengan diantar pakai mobil Suzuki Carry oleh anak tirinya (anak Prayit), Nano, dia berangkat ke rumah Purwanto di Jalan Dukuh Kupang Timur, Surabaya. Setelah Mami Roses menyampaikan permohonan keringanan akibat wisma yang sedang sepi itu, Purwanto menanggapi dengan tegas.

''Bah sepi. Bah rame. Nek awakmu nyetor telat, yo kudu mbungai. Titik! Wis, kono muliho. Ngganggu ae. (Biar sepi. Biar ramai. Kalau kamu setor terlambat, ya harus bayar bunga. Titik. Sudah, pulang sana. Mengganggu saja),'' jawab Purwanto.

Sumiarsih pulang dengan air mata menggenang. Mami Rose bersyukur Nano yang menunggu di luar tidak tahu bahwa di dalam tadi perwira marinir yang masih aktif itu memarahinya habis-habisan.

Pada kali lain, saat liburan Ramadan, Sumiarsih sedang bahagia karena kedua anaknya, Wati dan Sugeng, yang selama ini sekolah dan tinggal di rumah Jombang bersama nenek, liburan ke rumah keluarga Sumiarsih di Jalan Kupang Gunung Timur I/41, Surabaya.

Anak-anak Mami Rose itu pun diajak keliling kota seperti ke Toko Siola, Toko Nam, Taman Hiburan Rakyat (THR), dan kebun binatang. Namun, pada saat bersamaan, Mami Rose bingung karena usaha rumah bordilnya sedang sepi. Saat waktu membayar setoran tiba, uang yang tersedia hanya Rp 20 juta.

Saat mereka mau membayar setoran itu, anak-anak itu pun diajak ke rumah Purwanto. Harapan Sumiarsih, dengan mengajak anak-anak, kemarahan Purwanto bisa redam. ''Mugo-mugo ae Pak Pur gak ngamuk nek awak e dhewe teko bareng-bareng yo, Pak,'' kata Rose kepada Prayit sebelum mereka berangkat.

Kiat Mami Rose jitu. Melihat rombongan yang dikuti Wati dan Sugeng itu, Purwanto lebih lunak saat Mami Rose mau menyampaikan setoran yang hanya Rp 20 juta. ''Yo, wis, kurang piro. Gowoen ae disik nek ngono. Tapi, tolong, tanggal 15 kudu onok sak bungae lho yo (Ya, sudah, uangnya dibawa dulu. Tapi, tolong, tanggal 15 harus dibayar bersama bunganya),'' katanya.

Sambil berkata demikian, Purwanto tak henti-henti memandangi Wati. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Setelah itu, rombongan kecil itu meneruskan perjalanan menuju THR di Jalan Kusuma Bangsa.

Besok malamnya, sekitar pukul 20.30, Purwanto mengenakan jaket doreng berkunjung ke Wisma Sumber Rejeki, bersama tiga anak buahnya. Dia duduk di tengah para PSK yang sedang mejeng di ruang tamu atau akrab dikenal sebagai ''akuarium''. Dia minum sampai mabuk.

Pukul 23.30, Rose mendapati Purwanto keluar kamar. Dari mulutnya menyembur aroma alkohol. ''Sugeng dalu, Pak (Selamat malam, Pak),'' sapa Mami Rose berbasa-basi. ''He'eh,'' jawab Pur. Pur lalu bertanya soal setoran yang diantarkan kemarin.

''Seperti yang saya sampaikan kemarin, masih ada Rp 20 juta. Kurang Rp 5 juta. Tapi, malam ini tadi ada pemasukan Rp 1 juta,'' kata Mami Rose. Purwanto mendengarkan sambil berbaring di tempat tidur.

Sumiarsih melirik Purwanto yang berada tidak jauh dari tempat duduknya. Heran, kali ini bapak tiga anak itu terlihat lebih sabar. Saat Purwanto mengelurkan sebatang rokok, wanita itu pun membantu menyulut dari korek api miliknya. ''Ora usah kok pikirke kekuranganne, Rose. Tapi, anakmu Wati kekno aku (Tidak usah kamu pikirakan kekurangannya. Tapi, anakmu Wati kasihkan aku),'' katanya enteng.

Mendengar itu, tubuh Rose gemetar. Kakinya mendadak lemes. Seorang bodyguard wisma Sumber Rejeki, Bambang, yang kebetulan melintas heran mengetahui bosnya memegangi kepala. ''Ada apa, Mi, kok pucat,'' tanya Bambang. Tanpa diminta, pria bertubuh kekar itu membopong Mami Rose ke kamar nomor 6 yang malam itu tidak dipakai pelanggan.

(Sejak peristiwa itu, Sumiarsih mengaku terus berusaha menyelamatkan Wati yang berwajah ayu dari Purwanto. Pada 1986, Wati menikah dengan Serda (Brigadir Polisi Dua) Adi Saputro. Namun, Purwanto tak berhenti mengejar Wati. Faktor itulah yang menyebabkan Adi Saputro sangat sakit hati).

Delapan tahun lebih kongsi Purwanto-Sumiarsih di Wisma Sumber Rejeki itu adalah saat-saat yang berat bagi Sumiarsih. Wanita itu sering defisit karena Purwanto selalu meminta setoran tetap dengan nilai yang terus naik tiap tahun. Bahkan, keterlambatan pembayaran pun dikenai penalti bunga.

Puncak kesulitan itu terjadi pada Agustus 1988. Saat itu, setoran bulanan sudah menjadi Rp 30 juta. Angka itu belum memperhitungkan bunga karena sudah melebih tanggal 1. Purwanto memberikan deadline tanggal 15. Sumiarsih tidak kuat lagi. Suatu hari Sumiarsih mengungkapkan rencana jahat kepada Prayit: membunuh Purwanto.

Semula Prayit tidak setuju. Tapi, setelah dimintai pendapatnya langkah apa yang tepat untuk menghindari teror Purwanto, Prayit tak punya pilihan. Lelaki itu pasrah dan menyetujui ide Sumiarsih. Malam itu pula, pukul 19.30 WIB, Mami Rose lantas memanggil kemenakan Prayit, Daim, di meja bartender. Lelaki muda itu dipekerjakan di wisma sebagai pengawas keuangan.

Setelah berada di dalam kamar, Rose meminta tolong agar Daim ikut membantu membunuh Purwanto. ''Kowe lak ya, lara ati ta, Im (Kamu juga sakit hati kan, Im). Yok apa nek (Bagaimana kalau) Pak Pur kita bunuh saja bersama-sama,'' pinta Rose kepada Daim di dalam kamar. Daim sepakat dengan usul Sumiarsih. Sebab, Daim sendiri mengaku beberapa kali dipopor pistol hingga berdarah-darah.

Namun, sebelum keluar kamar, Prayit kepada Daim mengatakan agar minta bantuan Nano, anak Prayit dari istri terdahulu, yang tinggal di Putat Jaya Tembusan, Surabaya. ''Jangan bertindak sendiri-sendiri, tunggu perintah kita selanjutnya, ya,'' kata Prayit lagi. Daim manggut-manggut tanda mengerti.

Pada 12 Agustus 1988, bertempat di Jalan Kupang Gunung Timur I/2B, Surabaya, rumah Sumiarsih yang lain, mereka berkumpul menyusun strategi pembunuhan. Saat rapat itu, Rose juga memanggil menantunya, Adi Prayitno, yang sedang berada di Surabaya karena urusan dinas. Rapat kecil itu menyepakati menghabisi Purwanto dengan dipukul alu besi.

''Hati-hati, lho. Pak Pur itu tentara. Kuat. Jadi, harus membawa senjata sendiri-sendiri. Kita keroyok ramai-ramai. Kalau tidak, kita yang mati. Dia punya pistol dan juga bisa karate,'' kata Prayit.

Tak seperti yang ditakutkan Prayit. Saat eksekusi pembunuhan terhadap Purwanto (dan empat anggota keluarga yang lain) dilaksanakan di rumah Purwanto, siang hingga sore pada 13 Agustus 1988, hampir tidak ada perlawanan berarti. Para korban, termasuk yang tak berkaitan dengan kongsi rumah bordil, seperti istri dan anak-anak Purwanto, mereka bunuh dengan cara yang sadis.

Wati sendiri tidak menyangka bahwa sang ibu yang dianggap sebagai otak pembunuhan itu berbuat demikian nekat. Sejak Sumiarsih dan kakaknya, Sugeng, dieksekusi mati menyusul suaminya (Adi Saputro) yang terlebih dahulu menghadapi regu tembak, Wati kini hidup sebatang kara. ''Saya tidak mengira ibu tega berbuat itu. Sebab, yang saya tahu, ibu itu berhati lembut,'' katanya. (habis)

2 comments:

ellya said...

Mba Ita memang wartawan dan penulis hebat.

Anonymous said...

Keren